Bepapai – Tradisi Mandi Pengantin dalam Adat Banjar
Pembaca tungkal.id, tahukah kalian bahwa Masyarakat Suku Banjar di Kuala Tungkal sangat menjunjung tinggi tradisi leluhurnya. Salah satu buktinya adalah tradisi Bepapai masih ada sampai saat ini. Tradisi ini merupakan ritual mandi tolak bala yang pelaksanaannya berlangsung menjelang pernikahan, khususnya oleh calon pengantin perempuan.
Tradisi ini tidak sekadar ritual bersih diri. Lebih dari itu, Bepapai mengandung nilai spiritual dan sosial yang mendalam. Melalui upacara ini, masyarakat berusaha memohon perlindungan dari gangguan, baik yang bersifat fisik, psikis, maupun supranatural. Oleh karena itu, Bepapai dipandang sebagai bentuk pembersihan dan perlindungan diri menjelang fase hidup baru.
Masyarakat Banjar menganggap melewatkan upacara Bepapai sebagai hal yang berisiko. Sebab, mereka meyakini bahwa calon pengantin yang tidak menjalankan Bepapai lebih rentan mengalami gangguan seperti kesurupan, sakit mendadak, atau bahkan kegagalan dalam prosesi pernikahan.
Masyarakat Banjar meyakini ada resiko bila mereka tidak menjalankan tradisinya itu. Berdasarkan kepercayaan yang telah turun temurun,
Makna dan Tujuan Ritual
Ritual Bepapai sarat akan makna simbolik. Secara etimologi, kata bepapai berasal dari bahasa Banjar yang berarti mandi-mandi atau dipercik air. Secara fungsional, ritual ini merupakan bentuk tolak bala dan pembersihan batin yang mengandung unsur keagamaan dan adat secara bersamaan.
Tujuan utama upacara ini cukup beragam. Pertama, ia menandai peralihan status seseorang dari remaja ke masa dewasa dan kehidupan rumah tangga. Kedua, masyarakat menggunakan Bepapai untuk memberitahukan secara sosial bahwa mereka akan menggelar pesta pernikahan, sekaligus mengajak orang-orang mendoakan keselamatan calon pengantin. Ketiga, keluarga calon pengantin menjalankan Bepapai agar pengantin, terutama perempuan, terlihat lebih menarik, berseri, dan memancarkan aura positif saat bersanding.
Selanjutnya, masyarakat juga melihat Bepapai sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur. Mereka percaya bahwa dengan melestarikan ritual ini, keselamatan dan kelanggengan rumah tangga calon pengantin akan lebih terjamin. Selain itu, ritual ini dipercaya mampu menghalau gangguan halus, seperti santet, guna-guna, atau campur tangan roh jahat yang iri terhadap kebahagiaan pasangan baru.
Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Keluarga calon pengantin biasanya melaksanakan upacara Bepapai sebelum acara petataian (bersanding di pelaminan), baik sebelum maupun sesudah akad nikah. Dalam praktiknya, jika mereka menggelar akad nikah dan pesta dalam waktu berdekatan, maka mereka menyelenggarakan Bepapai terlebih dahulu. Namun, jika mereka merencanakan pesta dalam waktu yang cukup lama setelah akad nikah, maka mereka mengadakan upacara ini menjelang pesta.
Mereka umumnya menyelenggarakan prosesi ini di pelataran rumah, seperti halaman depan, belakang, atau samping rumah. Di tempat tersebut, mereka membangun struktur simbolik yang mereka sebut pagar mayang, yakni panggung kecil yang berhias kain kuning, batang tebu, serta berbagai hiasan simbolik. Saat ini, beberapa keluarga mulai meninggalkan penggunaan pagar mayang dan menggantinya dengan pelaminan modern.
Perlengkapan dan Simbol Ritual
Bepapai membutuhkan perlengkapan khusus yang disebut piduduk. Ini adalah sesaji simbolik yang terdiri dari beras putih (lambang rezeki halal), kelapa dan gula merah (tanda kehidupan manis), telur ayam (pengharapan akan keturunan), benang dan jarum (penyulam masa depan), dan cermin (ajakan untuk introspeksi diri).
Selain itu, keluarga calon pengantin menyiapkan air bunga, air doa, dan air yasin untuk menyiram calon pengantin. Tidak kalah penting, mereka memakaikan kain kuning kepada pengantin perempuan, memintanya duduk di atas alas putih, dan mengoleskan ramuan alami yang telah d!bacakan doa ke tubuhnya dalam proses luluran.
Piduduk juga d!berikan kepada orang yang memimpin upacara (biasanya bidan kampung atau juru rias tradisional), bukan sebagai upah, melainkan sebagai bentuk sedekah atau penghargaan atas tenaga yang d!berikan.
Prosesi dan Tahapan Upacara
Rangkaian upacara bermula dari persiapan berupa:
- Betimung (mandi uap dengan rempah untuk menyegarkan tubuh),
- Bepacar (menghias kuku dengan daun pacar), dan
- Minum banyu tawar (air doa untuk ketenangan jiwa).
Selanjutnya, calon pengantin menuju tempat upacara dengan iringan shalawat. Di sana, prosesi mandi dilakukan secara berurutan: dikasai, diguyur air bunga, air doa, dan disiram menggunakan mayang pinang. Setiap siraman beriringan dengan bacaan basmalah dan shalawat.
Setelah mandi, calon pengantin berias (baiyas) dengan ritual khusus yang menggabungkan bacaan surah Yusuf dan beberapa mantera Banjar. Kemudian berlanjut dengan ritual bacarmin (bercermin), sebagai simbol introspeksi sebelum menjalani hidup baru.
Akhir dari ritual ini adalah pembacaan doa, penyuguhan makanan khas seperti ketan dan bubur merah putih, serta khatam Qur’an oleh pengantin perempuan sebagai simbol kematangan spiritual.
Nilai dan Fungsi Sosial-Spiritual
Ritual Bepapai memuat tiga fungsi utama:
- Fungsi spiritual: Upacara ini menjadi wujud komunikasi manusia dengan Allah SWT dan makhluk halus yang diyakini ikut hadir dalam kehidupan. Masyarakat Banjar melaksanakan Bepapai sebagai bagian dari ekspresi keimanan dan rasa syukur atas datangnya jodoh serta fase hidup baru. Mereka percaya bahwa dengan melibatkan nilai-nilai religius dalam adat, mereka akan memperoleh keberkahan dan perlindungan dari segala marabahaya.
- Fungsi sosial: Tradisi ini mempererat ikatan sosial antarwarga. Keluarga, tetangga, dan kerabat datang untuk membantu, menyaksikan, serta memberi doa restu. Dengan demikian, solidaritas dan gotong royong tetap terjaga dalam komunitas masyarakat.
- Fungsi edukatif: Ritual ini menjadi sarana pendidikan budaya kepada generasi muda. Nilai-nilai tanggung jawab, penghormatan kepada orang tua, dan pentingnya kesiapan spiritual dalam pernikahan disampaikan secara simbolis dalam setiap tahap prosesi.
Jadi, Tradisi Bepapai adalah warisan budaya masyarakat Banjar Kuala-Tungkal yang menyatukan unsur keagamaan, adat, dan nilai sosial. Meskipun zaman terus berubah, masyarakat tetap memegang erat ritual ini karena yakin akan membawa keselamatan, ketentraman, dan keberkahan bagi proses membangun rumah tangga.
Upacara ini tidak hanya sekadar ritual simbolik, tetapi juga bentuk syukur, penghormatan kepada leluhur, dan ajakan untuk memulai kehidupan baru dengan bersih, suci, dan siap lahir batin. Dengan mempertahankan tradisi ini, masyarakat Banjar tidak hanya menjaga warisan nenek moyang, tetapi juga memperkuat identitas dan keimanan mereka di tengah perkembangan zaman.
Post Comment